upah.co.id – Empat orang mantan petinggi Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) telah selesai menjalani sidang kasus penggelapan dana Boeing Comunity Invesment Found (BCIF) yang diperuntukan bagi keluarga atau ahli waris korban kecelakaan Pesawat Lion Air Boeing 737 Max 8 nomor penerbangan JT 610.

Mereka adalah pendiri sekaligus mantan Presiden Yayasan ACT Ahyudin, eks presiden ACT Ibnu Khajar, eks Anggota Dewan Pembina ACT Hariyanan Hermain, dan eks Ketua Dewan Pembina Yayasan ACT Novariyadi Imam Akbari.

Keempatnya terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan penggelapan dalam jabatan sebagaimana Pasal 374 KUHP Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP).

Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menjatuhkan vonis terhadap Ahyudin selama 3,5 tahun penjara. Sementara Ibnu Khajar, Hariyana Hermain dan Novariyadi Imam Akbari divonis 3 tahun penjara.

Adapun sidang perkara ini hanya berlangsung singkat atau tidak lebih dari 3 bulan. Ahyudin, Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain lebih dulu menjalani persidangan. Ketiganya menjalani sidang perdana pada Selasa 15 November 2022 dengan agenda pembacaan surat dakwaan jaksa penuntut umum.

Satu bulan setelahnya atau tepatnya 15 Desember 2022, eks Ketua Dewan Pembina ACT Novariyadi Imam Akbari baru menjalani sidang pembacaan surat dakwaan. Putusan terhadap Ahyudin, Ibnu Khajar dan Hariyana Hermain dijatuhkan majelis hakim PN Jakarta Selatan pada Selasa 24 Januari 2023. Sementara itu, perkara sama yang menjerat Novariyadi Imam baru diputus pada Selasa 21 Februari 2023.

Berikut rangkuman perjalanan kasus penggelapan dana BCIF yang terungkap dalam persidangan:

1. Gaji puluhan juta petinggi ACT

Gaji para petinggi ACT diketahui mencapai puluhan juta rupiah setiap bulan. Hal itu terungkap saat JPU mendalami pendapatan para elite yayasan filantropi tersebut. Kepada Novariyadi Imam Akbari misalnya, jaksa menyelisik perihal gaji puluhan juta rupiah yang didapatkan dalam satu bulan sebagai petinggi di yayasan tersebut.

“Saudara dulu gajinya rate berapa?” tanya jaksa dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Selasa (13/12/2022).

Dalam keterangannya, Novariyadi Imam mengaku pendapatannya dari ACT bisa saja dipotong ataupun dicicil tergantung kondisi keuangan. Jaksa lantas menunjukkan barang bukti ke hadapan majelis Hakim untuk memperlihatkan daftar gaji di depan Novariyadi Iman.

“Saudara dibayarkan di Bank Muamalat Indonesia ya, kami tunjukkan sebagai barang bukti pembayaran Saudara ya, biar Saudara tahu berapa dapatnya,” ujar Jaksa.

2. Terima gaji beberapa kali dalam sebulan

Jaksa pun membacakan gaji puluhan juta rupiah yang diterima Novariyadi Imam berulang kali dalam satu bulan. Gaji yang diterima Novariyadi Imam bervariasi, mulai dari belasan hingga puluhan juta rupiah dalam sebulan.

“Saudara pernah mengetahui enggak? Ini atas nama Saudara Novariyadi Imam A di tanggal 24 bulan Juni 2021 payroll-nya Rp 100.000, kemudian di 25 Juni Rp 17.500.000,” papar Jaksa.

“Kemudian di bulan Juli Rp 44.500.000, kemudian di bulan Juli lagi itu Rp 44.700.000, Juli lagi Rp 17.500.000 dan Juli lagi Rp 11.500.000,” ujar Jaksa melanjutkan.

Setelah dipaparkan daftar gaji tersebut, Novariyadi Imam malah menjawab bahwa ia bekerja di Yayasan ACT bukan untuk mencari uang.

“Jadi sekali lagi, sejak awal saya masuk saya hanya dibayar sekian puluh ribu, meninggalkan pekerjaan yang lama ini sekaligus penjelasan bahwa saya niat ke ACT tidak untuk mencari harta,” kata Novariyadi Imam.

3. Dana digunakan untuk pengadaan “rice truck

Sementara itu, jaksa juga mendalami sumber uang yang digunakan Yayasan ACT pada program kemanusiaan yang pernah dibuat. Dalam sidang ini, mantan Presiden Yayasan ACT Ibnu Khajar mengakui bahwa pengadaan armada humanity rice truck untuk layanan beras gratis pada 2020 berasal dari dana Boeing.

“Saudara tahu enggak mengenai kendaraannya, pengadaannya apakah ketika Saudara jadi ketua yayasannya atau memang sebelumnya sudah ada,” tanya jaksa.

“Sebelumnya ada satu unit, terus pada tahun 2021 ada tambahan,” jawab Ibnu.

“Jadi ada 2? Kepemilikannya siapa itu? Yayasankah? Perorangankah? ” timpal jaksa.

“Lembaga, bukan perorangan, atas nama ACT,” jelas Ibnu.

Sebelum menjawab pertanyaan jaksa, eks Presiden ACT itu menjelaskan adanya program tersebut. Ibnu mengatakan, program perihal armada angkut beras itu diawali dengan kampanye kemanusiaan sebelum tersedianya dana untuk merealisasikan kegiatan tersebut.

Setelah kampanye tersebut, kata dia, Presiden ACT sebelumnya, Ahyudin lantas memerintahkan Direktur program pangan untuk melakukan pengadaan truk tersebut. Setelah mendapatkan penjelasan dari Ibnu, jaksa lantas menekankan pertanyaan mengenai sumber pendanaan truk untuk program Yayasan ACT tersebut.

“Itu uangnya siapa, dana Boeing?” cecar jaksa.

“Saya yakin iya, karena saya belum cek ya, satu-satunya kas yang memungkinkan adalah itu,” jawab Ibnu.

4. Pembelian Pabrik Air Minum

Dalam sidang ini, jaksa juga mencecar mantan eks Dewan Pembina Yayasan ACT Hariyana Hermain soal pembelian pabrik air minum senilai Rp 33 miliar.

Penelisikan pembelian pabrik tersebut diawali ketika jaksa menanyakan PT AWC yang merupakan perusahan cangkang dari Yayasan ACT. Menurut Hariyana, pembelian pabrik air minum dilaksanakan atas perintah eks pendiri ACT Ahyudin yang mempunyai program distribusi air.

“Oke, berapa beli air minum, pabriknya?” timpal jaksa.

“Waktu itu kalau enggak salah diprogram di angka Rp 33 miliar,” jawab Hariyana.

“Uang belinya dari mana?” cecar jaksa.

“Sekali lagi, kami atas perintah,” ucap Hariyana.

“Ya iya, tapi uangnya dari mana, duit Rp 33 miliar itu?” tanya jaksa.

“Uangnya dari ACT,” jawab eks Dewan Pembina Yayasan itu.

“Uang ACT, uangnya dari mana? Sumber dananya? dana Boeing bukan?” cecar jaksa lagi.

Lantas jaksa pun menyebutkan bahwa pembelian pabrik air minum melalui dana ACT dilakukan pada tanggal 8 September 2021. Atas penjelasan tersebut, Hariyana tetap tidak bisa memastikan sumber uang untuk pembelian pabrik air minum itu.

“Karena biaya lembaga itu biayanya bercampur,” jawab Hariyana.

Dalam kasus ini, Yayasan ACT disebut telah menggunakan dana bantuan dari Boeing Community Investment Fund (BCIF) senilai Rp 117 miliar dari dana yang diterima sebesar Rp 138.546.388.500. Dana bantuan yang didedikasikan untuk keluarga korban kecelakaan pesawat Lion Air itu hanya diimplementasikan sebesar Rp 20.563.857.503 oleh Yayasan ACT.

Sementara itu, dana ratusan miliar telah digunakan oleh para terdakwa tidak sesuai dengan implementasi yang telah disepakati bersama Boeing. Padahal, dana ratusan miliar itu diberikan Boeing untuk kepentingan pembangunan fasilitas sosial sebagaimana yang ditentukan dalam protokol BCIF.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.